Sabtu, 19 Desember 2020

Merumahkan Cerita di Pangkalan Bun

  

  19/12/2016  -  19/12/2020


    Saya meyakini bahwa cepat atau lambat, suatu saat ingatan akan berkhianat. Barangkali hal tersebut menjadi alasan saya untuk menulis hampir tentang apapun, sekaligus untuk mengarsipkan peristiwa agar tidak berlalu begitu saja, kemudian lenyap ditelan waktu. Sekalipun betapa saya sadari, masih banyak sekali tulisan-tulisan yang kalimatnya yang masih rumpang dan terburu-buru, tulisan yang masih tertatih-tatih menyampaikan premisnya, atau tulisan tidak tuntas yang lebih banyak dirayakan seorang diri, beberapa saja dari itu yang pada akhirnya selesai dan pantas dirayakan bersama orang lain. Saya rasa, menulis merupakan salah satu upaya yang tepat guna untuk melanggengkan ingatan pada hal-hal baik yang terjadi dalam hidup. Di atas semua itu, saya juga percaya bahwa sebuah peristiwa bukan berarti apa-apa jika tidak kita sendiri yang memberinya makna. Pun hal itu berlaku untuk sebuah tempat. 

    Jika boleh bernostalgia, saya tidak akan pernah lupa bagaimana Bintaro menghadirkan sebuah ruang yang selalu memuai untuk saya berkembang menjadi saya saat ini. Katanya, ada beberapa tempat yang bisa membentuk manusia, saya rasa Bintaro menjadi salah satunya. Bintaro seperti sesosok ibu yang selalu mendekap hangat kepulangan anaknya. Jika kata orang, home is where your mom is, maka bagi saya, Bintaro adalah rumah kedua yang kehangatannya menyamai rumah pertama tempat ibu kandung saya tinggal. Ingatan akan Bintaro berputar kencang setiap kali saya berbicara tentang sebuah tempat. 

    Sampai pada akhirnya, saya tersadar bahwa waktu memang betul-betul terbang hingga bulan Oktober 2016 tiba tanpa saya antisipasi. Saya diwisuda tepat pada bulan itu. Kemudian November 2016 hanya sekelibat lewat saja karena hari-hari berlalu penuh dengan persiapan tes dan persiapan penempatan dinas. Bulan Desember 2016 datang bersamaan dengan kabar penempatan instansi sekaligus penempatan dinas. 

    Kata orang, seperti berbahagia, bersedih adalah hak. Tapi saat itu, saya lebih memilih sedih karena akan meninggalkan Bintaro beserta kenangan-kenangan kecil yang sampai sekarang masih saya ingat detailnya— lingkungan kampus, daerah Bintaro Sektor 1 sampai Bintaro Sektor 9, toko-toko buku di mall atau Pesanggrahan dan di Blok M, festival film dan pameran seni yang megah, sampai puluhan tempat jajanan langganan — dibandingkan bersedih karena akan berangkat menuju tempat dinas pertama yang sama sekali asing. 

    Seperti yang sudah-sudah, ingatan akan Bintaro berputar kencang setiap kali saya berbicara tentang sebuah tempat. Tidak terkecuali perjalanan yang saya mulai dari hari pertama (dan untuk pertama kalinya) menginjak tanah Borneo hingga langkah saya di sini yang sudah genap empat tahun. Ingatan saya memiliki ruang baru untuk mengingat segala hal selama di sini. Barangkali memang betul, sebuah tempat dapat memberimu banyak kejutan yang datang dari sudut-sudut yang tidak diduga. 

    Sama seperti pertemuan dengan Bintaro, saya mensyukuri pertemuan yang Tuhan beri kali ini. Pertemuan dengan sebuah kota kecil di Kalimantan Tengah. Kotawaringin Barat, Pangkalan Bun. Seperti kata Bu Inga pada Zarah Amala, tokoh utama pada novel fiksi ilmiah karangan Dewi Lestari,  Supernova 4: Partikel, “kalau di dalam damai, semua tempat bisa jadi rumah kita” saat Zarah memutuskan untuk pergi ke Pangkalan Bun, menyusuri Sungai Sekonyer, dan tiba di Taman Nasional Tanjung Puting untuk menyelesaikan misi pribadinya. Saya tidak pernah menyangka bahwa buku Supernova keempat yang saya baca di bangku SMA tahun 2012 itu, yang berkali-kali menyebut latar tempat Pangkalan Bun serta rasa penasaran saya tentang Pangkalan Bun yang hanya hinggap sekejap saja di kepala saat itu, pada akhirnya membawa saya pada fakta bahwa saya benar-benar mendatangi tempat yang Zarah sebut sebagai rumahnya. Saat pertama kali menyapa wajah kota Pangkalan Bun, saya seperti menemukan mercusuar baru untuk kembali belajar banyak hal.  

    Menyoal pekerjaan, saya mungkin tidak akan menceritakan bagaimana saya melalui rutinitas bekerja di Pangkalan Bun; menyusun dengan jeli kebutuhan anggaran kantor untuk tahun berikutnya, memastikan eksekusi penyerapan anggaran berjalan dengan baik sesuai rencana dan melaporkannya pada monev anggaran, memantau dan menatausahakan dokumen penerimaan negara, mempelajari Peraturan Menteri Keuangan dan peraturan lanjutannya, memproses dokumen permohonan, berdiskusi dengan rekan sejawat dan atasan, dan lain sebagainya. Saya juga tidak akan menjabarkan urusan rutinitas saya sehari-hari di balik layar monitor komputer dan kibor (ngomong-ngomong, saya senang sekali mengetik sesuatu) atau pekerjaan klerikal lainnya yang berhubungan dengan berkas dokumen dan alat ajaib bernama klip kertas dan stapler. 

Tulisan ini mungkin akan menjadi manifestasi perasaan dan pikiran yang ingin saya rangkum, sebelum saya benar-benar akan meninggalkan tempat ini beberapa hari lagi.

(i)

Sejak awal saya merasa, saya tidak perlu bekerja terlalu keras untuk merasa nyaman di Pangkalan Bun. Kota kecil ini sudah menawarkan banyak hal baik; hawa yang sejuk, sunyi yang damai, dan awan yang begitu indah untuk dinikmati. Tentu saja, hal ini nyaris tidak bisa ditemui di kota-kota yang dindingnya tinggi, dingin, dan angkuh. Di tambah lagi, jarak tempuh bandara ke kantor yang tidak sampai 15 menit juga melenakan saya yang kurang bisa menikmati perjalanan lama hanya untuk kemudian melanjutkan perjalanan lainnya. 

Selain semua itu, saya punya kawan-kawan (yang sekaligus rekan kerja) yang luar biasa. Bahkan di tengah kepenatan bekerja, bersama mereka, saya masih bisa memelihara tawa dan tidak lupa memaknai hari. Mirip seperti apa yang dibilang Baskara Putra dalam lagu ‘Membasuh’ yang ia tulis, “kita bergerak dan bersuara, berjalan jauh tumbuh bersama, sempatkan pulang ke beranda, tuk mencatat hidup dan maknanya”. Saya rasa, sepenggal lirik tersebut sudah terejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari selama di sini. Pada akhirnya, saya berada pada kesimpulan bahwa tidak ada alasan yang tersisa bagi saya untuk tidak merasa senang bekerja (sekaligus belajar) di Pangkalan Bun. 

(ii)

Dulu saya menganggap bahwa pertemuan adalah suatu hal yang istimewa dan mewah, namun pada akhirnya saya sadar, sebuah pertemuan bukan sesuatu yang perlu dirayakan terlalu. Ibarat berjalan, langkah-langkah saling bertemu pada sebuah persimpangan, kemudian saling sapa dan kenal, bertukar cerita atau basa-basi barang sejenak, lalu saling melangkah lagi menuju arah yang (mungkin) berbeda. Saya ingat pertama kalinya merasa begitu kehilangan dan menangis karena Surat Keputusan Pemindahan Pegawai membawa rekan saya pergi jauh ke tempat dinas yang baru. Saya jadi mulai berpikir bahwa pertemuan dan perpisahan adalah hal yang biasa; dipertemukan sebentar untuk kemudian dibubarkan. Di Pangkalan Bun, saya mulai senang bertaruh dengan harapan dan doa, untuk bisa dipertemukan kembali dengan rekan-rekan saya ini di kesempatan dan tempat tugas yang lain. 

(iii)

Saya juga meyakini bahwa mimpi merupakan sebuah kemewahan kecil yang harus dirawat oleh manusia. Mengutip Jacques Pangemanann di buku terakhir Tetralogi Pulau Buru karya Pram, Rumah Kaca, sosok intel pemerintahan kolonial Belanda, yang menjadi penyebab Minke (cendekiawan pribumi) diasingkan di pulau terpencil Maluku Utara, “Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi, dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya”. Semenjak saya selesai menamatkan buku tersebut, sampai saat ini, kutipan dari buku Pram itulah yang kerap terngiang-ngiang. 

Karenanya, acap kali tiap lewat jam lima sore atau malam hari sebelum tertidur, saya selalu bertanya kepada diri sendiri (yang sampai detik ini pun belum menemukan jawaban yang pas), tentang apa sebenarnya yang betul-betul saya inginkan? Apa saya masih ingat persis apa yang saya harapkan dulu? Apa saya sudah menghidupi hidup, ya? 

Dan sudah tentu, suasana Pangkalan Bun yang damai dan jauh sekali dari kata riuh, sangat menunjang sesi kontemplasi tersebut. Barangkali, jika saat ini saya harus menempuh perjalanan pulang kantor dan terjebak kemacetan, yang ada dalam pikiran saya mungkin hanya bagaimana cara lekas sampai rumah dan segera rebahan. 

(iv)

Perjalanan panjang selama tujuh tahun, tiga tahun di kampus Ali Wardhana dan empat tahun di Pangkalan Bun, membentuk saya menjadi pribadi yang sama sekali lain dari yang saya bayangkan tentang diri saya di lima sampai sepuluh tahun ke depan ketika saya masih duduk di bangku sekolah. Internalisasi nilai-nilai Kementerian Keuangan sejak duduk di tahun pertama kuliah hingga pada akhirnya menjadi bagian dalam sebuah sistem di instansi ini (tentunya juga dengan bertemu banyak orang hebat dan banyak belajar dari mereka) membawa saya pada kesimpulan, bahwa ternyata saya tidak kalah dalam sebuah pertaruhan yang saya buat sendiri saat akan memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di STAN, yang kemudian pada akhirnya membawa saya ke Pangkalan Bun untuk bekerja (jika frasa ‘mengabdi kepada negeri’ masih belum terasa pantas disebut) dan tempat-tempat dinas lain berikutnya. Benar adanya bahwa seseorang bebas memilih jalan mana yang ia sukai, tapi tidak pernah bebas dari konsekuensi jalan yang sudah ia pilih. Saya terang-terangan menyukai jalan ini juga konsekuensi yang dibawanya.

Beberapa hari lagi, saya akan terbang dari Pangkalan Bun dan tidak lagi terbang kembali ke sini. Kota sederhana yang damai, yang padanya saya pernah menikmati pagi hari di pelataran belakang rumah kontrakan, di jogging track Taman Kota, di jogging track Bandara Iskandar, di tempat langganan untuk sarapan. Yang padanya saya pernah menikmati siang hari yang terik atau mendung di jalan raya rapi yang (nyaris selalu) sepi, tentu saja dengan pemandangan awannya yang aduhai. Yang padanya saya pernah menikmati malam hari di kedai kopi favorit, di sanggar senam, atau di kamar saja; rebahan dan mendengar lagu-lagu yang itu-itu saja dari playlist Spotify. 

Beberapa hari lagi, saya akan terbang dari Pangkalan Bun dan tidak lagi terbang kembali ke sini. Saya akan selalu ingat persis Kantor Bea Cukai Pangkalan Bun yang sarat akan kehangatan dan kekeluargaan. Tulisan ini, selain sebagai bentuk hormat saya kepada ilmu, wawasan, pengalaman, dan orang-orang hebat yang saya temui selama perjalanan saya di sini, juga saya anggap sebagai sebuah pengingat, bahwa saya pernah begitu berbahagia menjadi bagian di dalamnya. 

---------------------



Share:

Selasa, 12 November 2019

Tentang Lanturan yang Harus Usai

To quote Andrea Gibson, "Love isn't always magic. Sometimes it feels more like ripping a hunk of raw meat with your incisors. Difficult, violent, repulsive." 
Then yeah, I second it the way I think about a life. 


Sejak duduk di bangku sekolah, saya selalu mengamini sikap meromantisasi hal-hal kecil yang belakangan ini baru saya sadari bahwa hal tersebut hanya omong kosong belaka. Perilaku yang sia-sia. Nirmakna. Setelah menyadari hal itu, saya jadi suka berandai-andai di waktu senggang--kala tidak sedang sibuk terpaksa menjadi orang dewasa--tentang bagaimana jika saya berhasil menjadi rasional sejak dalam pikiran, bagaimana jika saya menolak tunduk pada kedangkalan cara berpikir,  bagaimana jika saya terus mengasah mental seperti para intifada yang betapa tidak kenal kata menyerah, bagaimana jika saya memperlakukan buku-buku George Orwell, Karl Marx, Soren Kierkegaard, Albert Camus, Friedrich Nietzche, bahkan Karen Armstrong sebagai kitab suci sejak duduk di bangku sekolah di mana pikiran kritis dan ide gila masih dimaklumi dan terbebas dari penghakiman satu sisi, bagaimana jika saya keranjingan data; mencari-cari kebenaran sejarah G30S setelah membaca buku 'Penembak Misterius'-nya Seno Gumira Ajidarma; mencari cara untuk memperjuangkan suara mereka yang dipaksa bungkam dan dipaksa hilang, bagaimana jika saya menentukan beberapa alternatif aksi eskapisme dengan banyak menonton film dari berbagai genre kemudian mengkritiknya dengan cerdas dan menuliskannya dengan bernas, belajar banyak bahasa asing, sampai belajar cara merebut alat produksi dan menumbangkan kapitalisme.

.... and with a thousand more what ifs, semakin bising suara di ruang-ruang dalam kepala saya. Kadang, gemanya membiarkan saya menjelma menjadi apapun dan siapapun yang saya kehendaki. Seringnya, gema tersebut membuat saya ingin meringkuk seharian di bawah selimut; ogah-ogahan menjalani hidup yang sudah dibentangkan oleh Tuhan di depan mata saya. Kalau saya tidak siaga, bisa jadi ini hal yang membahayakan kehidupan karena di saat-saat seperti itu yang saya dambakan hanyalah dunia tanpa tatanan yang mengikat. Menjadi orang dewasa yang (katanya) harus bertanggung jawab pada kehidupannya sendiri, acap kali menyelamatkan saya dari hal-hal seperti ini, karenanya saya sepakat bahwa menjadi dewasa tidak seburuk yang orang-orang perbincangkan. Dengan itu, saya bisa memastikan bahwa saya masih individu yang bisa berpikir sekaligus bertanggung jawab.

Myself, walking through my own shadow

Diatas segalanya, hal yang selalu saya percayai bahwa pikiran adalah satu-satunya tempat tanpa batas dan alas untuk mencipta kehidupan dan merencanakannya, pun mempersilakan saya untuk bebas melantur tentang hampir apapun. Di sisi lainnya, pikiran juga musuh yang sulit berhenti berbicara apa adanya tentang hampir apapun. 

Trying to capture my day life as such, hampir setiap malam sebelum tidur atau setiap kali terbangun tengah malam--sebab tubuh minta dilelapkan lebih awal, riuh rendah suara itu datang lagi. Sementara saya mencoba menyusun ode di secarik kertas yang sering kali tidak tuntas atau aktivitas lain yang lebih sederhana; berselancar di dunia maya sembari memutar playlist spotify atau podcast favorit sebagai upaya pelarian, namun nyatanya perseteruan dalam kepala saya tidak jua berhenti. Suara-suara itu sahut menyahut. Detik ini ia menjelma sosok ibu yang membelai lembut rambut sosok kecil saya sambil mendongeng kisah tentang luar angkasa, di detik kemudian tiba-tiba ia berubah wujud menjadi petasan banting yang terlempar dari sudut yang tidak terduga. Bisa dari penyesalan tentang mengapa dulu tidak begini, mengapa dulu tidak begitu saja. Bisa dari daftar mimpi-mimpi yang patah dan dipatahkan. Bisa dari perasaan tidak cukup terhadap diri sendiri. Bisa juga dari fakta bahwa trauma dan kepedihan bisa berumur panjang dan enggan enyah dari ingatan.

Hal yang paling tidak saya pahami dari persoalan ini adalah kerelaan saya untuk menikmati pergulatan pikiran tersebut, saya rela berdiri dalam tataran kontemplatif, dikerubungi suara-suara bising yang bahkan tidak ingin saya dengar. Aneh ya? Mungkin saja karena saya belum menemukan cara paling efektif untuk mengelabui, jika tidak bisa dibilang menguasai, kebisingan di dalam tempurung kepala sendiri.

Saya pernah mendengar ucapan Nietzche yang diparafrase oleh Jörgen Elofsson dan kawan-kawan dalam sebuah lagu yang kemudian dinyanyikan oleh Kelly Clarkson, Stronger. Katanya, what doesn't kill you makes you stronger. Dulu saya bersikap bodoh amat dan persetan dengan apa yang Nietzche katakan. Setelah menginjak usia kepala dua, saya sepakat secara menyeluruh bahwa perkataannya memang sebuah aksioma. Setidaknya setelah saya betul-betul berhadapan dengan sesuatu yang mengganggu, menyiksa, dan menyakitkan--walau tidak membunuh--yang saya yakini mampu mengasah baja dalam diri. Tentu keyakinan itu lahir setelah proses pikir panjang, menjudi kemungkinan mana yang akan menang: dikuatkan atau dilemahkan (oleh buah pikir diri sendiri).

Arena pergulatan di dalam kepala saya tidak pernah sepi kunjungan, masih penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang menuntut dijawab cepat, dengan perandaian dan 'bagaimana jika' yang sudah hampir berkarat, juga dengan keraguan dan keyakinan akan banyak hal yang datang bergantian secara cepat mirip kilat, bahkan sampai di detik saya tiba pada paragraf ini. Di antara kebisingan yang hilir mudik itu, saya selalu menerima pengingat yang hadir dengan cara tidak terduga bahwa saya yang sekarang masih diikat oleh sebuah keinginan untuk melihat sosok Santiago, tokoh di buku Paulo Coelho, The Alchemist, ada pada diri saya kelak. Santiago yang mampu mengecoh nasib dengan keberanian. Berbekal fatum brutum amorfati, ia terus berjalan dan tidak menyerah pada keraguan dan rasa takut bahwa ia akan berhenti di tengah jalan karena sudah tidak tahan merasakan raga dan jiwanya berpeluh menempuh perjalanan panjang yang berdarah-darah.

Untuk menjadi Santiago seluruhnya atau sebagian, saya akhirnya tahu bagian mana di dalam kepala saya yang harus saya selesaikan dan bagian mana yang harus tetap bersemayam di sana. Pada bagian yang ingin saya selesaikan, saya hendak menyelesaikan semuanya tanpa sisa. Tanpa bekas. Dan pada akhirnya, bahkan tanpa niat apapun, saya tetap merasa harus mengharui diri sendiri.














Share:

Kamis, 22 Maret 2018

Happy Birthday, Me

Selepas maghrib di tanggal 22 Maret tiap tahunnya, selain saya terharu mengenang apa yang dilakukan Ibu saya sehari sebelum saya lahir ke dunia, saya juga selalu terotomatis berpikir dalam, berkhayal, dan mempertanyakan banyak hal kepada diri saya sendiri. Berpikir bahwasanya saya sudah tidak lagi muda untuk menghadapi hidup di luar dugaan saya, yang ternyata segila itu. Berkhayal tentang banyak what ifs, apa jadinya hidup saya jika saya bisa secara totalitas menikmati hal-hal detail pada kesederhanaan aktivitas sehari-hari yang simply membahagiakan seperti yang dilakukan Amelie dalam film Amelie (2001), atau menjadi Nisa yang sangat kalem dan content dalam film cin(T)a (2009), atau menjadi Nyai Ontosoroh yang begitu tegas dan berpendirian kuat di Bumi Manusia, tetralogi Buru oleh Pramoedya Ananta Toer, atau menjadi seperti Ika Natassa, banker sekaligus penulis yang buku-bukunya sangat saya suka, yang kalau diibaratkan otak kanan dan kiri beliau benar-benar berfungsi maksimal, atau seperti banyak orang-orang talented di luar sana yang saya follow di instagram dan twitter -yang dengan membaca sharing mereka secara cuma-cuma lewat snapgram atau kultweet mereka cukup membuat semangat saya untuk belajar dan berlatih kembali membara-, they are very good at specific thing; cooking well, styling, decorating, writing, reviewing, film-making, photography, etc. Dan terakhir, mempertanyakan banyak hal kepada diri saya sendiri dengan macam-macam pertanyaan klise yang sering muncul ketika kita sedang berkontemplasi, seperti: Sudah sejauh apa kamu berjalan menuju harapan-harapan dan mimpimu? Sudah bermanfaat untuk orang lain? Orang banyak? Sudah jadi apa kamu sekarang? Goalsmu apa kabar? Rencana-rencanamu? Kamu sudah bahagia belum? Sudah ketemu sama tujuan hidupmu? Sebenarnya mau digimanain sih hidupmu? 


At the very beginning, I know I am always hard to my own self . 
Sometimes, it shocks the hell out of me.


Namun, walau begitu, saya jadi senyum-senyum sendiri sembari mengingat kata Andrei Tarkovsky yang sangat saya sepakati sepenuhnya, "Jika kamu bosan dengan dirimu sendiri, kamu dalam bahaya". Saya jadi bersyukur karena saya sudah mampu berdamai dengan diri saya sendiri, sudah mengerti apa yang menjadi kekurangan dan kelebihan saya, dan saya merasa begitu bahagia menjadi diri saya sendiri setelah sekian banyak hal yang demikian melelahkan dan berpotensi membuat saya benci banyak hal atau menyerah di tengah jalan. 

Dalam kurun waktu setahun setelah saya menginjak usia 20, banyak hal-hal yang tidak disangka-sangka, jika tidak bisa dibilang ajaib, terjadi begitu saja. Saya patah sepatah-patahnya, saya kehilangan diri saya sendiri yang katanya Zedd aja 'if I lost myself, I lost it all', dan upaya-upaya berdamai dengan diri sendiri yang prosesnya berdarah-darah. Namun, memang sungguh benar ya apa yang dijanjikan sama Tuhan di kitab suci. Sesudah kesulitan ada kemudahan. Pada akhirnya, saya berhenti pada satu kesimpulan yang bisa membantu hidup saya menjadi lebih efisien: "Jalan aja dulu, berjuang, nggak usah berhenti apalagi mundur, gimanapun keadaannya, sesakit apapun rasanya, toh nanti juga bakal lupa rasa lelah dan rasa sakitnya berjuang."


Because you, your strength, suture, and pressure in life are real.
But simply put, you still can choose to smile and take it easy.
Just because, that is life you live in. 
Just because, that the world works apparently.
 
Setelah banyak hal-hal tak terduga terjadi di awal usia 20 dan 21, di usia saya ke-22 ini, saya semakin sadar bahwa hidup ternyata tidak serumit yang pikiran idealisme saya bayangkan. Bahwa hidup itu lebih dari hanya bertahan atau survive saja. Saya akhirnya mampu merasakan banyak kebahagiaan lahir dari hal-hal sederhana. Tentu saja, kebahagiaan yang seperti itu datang dari pilihan-pilihan yang kita ambil, dari keberanian kita menghadapi dilema dan keputusan yang pada akhirnya kita buat. Jujur saja, saya sangat merasa cukup dengan hal tersebut.

Ditambah lagi, saya menemukan novel bagus sebulan sebelum saya beranjak 22. Everything Everything karya Nicola Yoon yang sangat lucu dan menggemaskan. Gaya berceritanya sederhana namun sukses bikin saya ketagihan. Saya sampai tiga kali membaca ulang beberapa best lines dari novel tersebut.

Pict courtesy: My own snapgram



I could feel the power of loving and the bliss of being loved.
That is pretty incredible.



Pict courtesy: My own snapgram
Deducing this is such a friendly reminder to 21 me

Mengutip dari review saya di goodreads, "Novel ini mengingatkan saya untuk selalu mencintai dengan tulus dan berani, membela diri sendiri dan memilih sebuah keputusan dengan berani, dan yang paling menyentuh saya adalah saya dapat dengan mudah mengikuti apa yang Madeline, tokoh utama novel ini, mensyukuri hal-hal sekecil apapun itu seperti daily basis activities. Saya jadi lebih khidmat merasakan nikmatnya bangun tidur di pagi hari, menata guling dan selimut, berjalan kaki, lompat tali, minum air lemon, memegang motor, menatap awan abu-abu, belanja di pasar tradisional, menyentuh tekstur sayur mayur yang segar, memasak, menyentuh kertas, membaca, menyentuh pena, berpikir, ngantor, ngobrol dengan kawan, sampai rindu dengan seseorang. Saya sangat senang pada hal-hal yang mengingatkan saya bahwa bahagia dapat lahir dari hal-hal sederhana yang biasanya tidak dianggap penting oleh kebanyakan orang dewasa. Buku ini berhasil melakukannya dengan baik."

Betapa bahagianya saya mengingat banyak sekali yang Tuhan beri pada saya di awal 20 tahunan ini.



The most precious people in my life. 
While something happened among us, it must be everything romantics.
This boundary is created subconsciously. And it supposed to be a long lasting one. 

Punya keluarga yang luar biasa. Ibu yang berhati emas, open minded, asyik diajak ngobrol apa aja termasuk urusan asmara, keluarga, rencana keuangan, sampai resep masakan. Nisa, yang supel dan seru, bisa diajak ngobrolin hal-hal absurd sampai hal penting termasuk rencana-rencana setelah sama-sama menjadi pegawai di kementerian yang sama, problematika hidup, asmara, sampai sharing buku dan film. Nana, adik bungsu yang rajin banget ngapa-ngapain, yang asyik diajak bercanda karena basically emang lucu, yang kalau ngobrol pasti nyambung karena tau banyak hal sampai saya sebagai kakak sulungnya merasa kalah pintar.


OJTers, Januari 2017




Sumpah Jabatan PNS, Januari 2018
Friends, colleagues, who know you well.
Who care, who share almost everything, who do something together.
They already made Pangkalan Bun being so much more fun and exciting.


Punya teman-teman sekaligus rekan kerja yang seru seperti mereka di perantauan sekaligus tempat penempatan dinas pertama saya ini, membuat saya merasa beban kerja dan homesick sering kali tidak berarti. Saya masih bisa berolahraga hampir setiap pagi karena daerah yang sepi dan bebas dari polusi udara dan polusi kendaraan, saya masih bisa berbelanja ke pasar tradisional yang sayur mayurnya nyaris lengkap, saya masih bisa pergi nongkrong sesekali bersama teman-teman ke Itut Kadut Company (IKC); tempat nongkrong terbaik se-Pangkalan Bun yang punya stacko, monopoli, Uno cards, kartu remi, menu juara Mie Hot Plate favorit banyak orang, yang saya sendiri mengidolai Avocado Keroknya; ngobrol sampai tengah malam bareng teman-teman saya ini, saya juga masih bisa ngecharge ide-ide di Kobuki; cafe mini yang koleksi bukunya keren dan punya interior design yang bagus, mau lama-lama di sana itu betul-betul relieving, saya juga masih bisa menyesap Chocolate Grande kesukaan saya di Coffee Toffee, tentunya bareng sama mereka lagi. They are such my brother and sister at the same time. 

 Pangkalan Bun Squad at Itut Kadut Company

Coffee Toffee's Favorite

A bliss is our choice.
We do decide, so we make things happened for ourselves.

Saya juga menemukan bentuk kebahagiaan lain, kebahagiaan yang berbeda, kebahagiaan yang mengambil tempat khusus dalam hati saya. Saya pada akhirnya menemukan sebuah rumah pada jiwa dan pikiran seseorang; sebuah kenyamanan untuk bisa bernaung, bermonolog, berdialog bahkan tentang apa saja tanpa batas, tanpa rasa takut, tanpa rasa khawatir pada kemungkinan-kemungkinan buruk sebuah jalinan yang lebih dari sekadar kabar dan cerita sehari-hari.

Pada babak ini, saya sadar bahwa kebahagiaan saya ditentukan sejak saya memilih. Saya memilih untuk settle karena ada satu hal besar yang dapat diperjuangkan bersama. Dari situ, Tuhan membukakan banyak kesempatan untuk merasakan kebahagiaan-kebahagiaan yang bahkan sebelumnya belum pernah saya cecap sama sekali. Tuhan memang Maha Baik :)


SWQ, February 2018
Have you ever gone to a place you never be there before and you already feel so homey?


Gili Traawangan, February 2018

Visiting some places with your person.
Unfathomable happiness that is. 

 
Wearing spouse's outfits


You know you were falling in love, when you just cant stop it 
and you find out yourself being someone better.

Saya menerima kado indah dan menyenangkan sebelum saya menginjak usia 22 dari seseorang yang setiap hari dan every the end of the day menjadi seseorang yang bisa diajak ketawa dan ngobrol segala-galanya. Have a trip with the one you love from Sumbawa Besar to Sumbawa Barat and visiting some places and beaches which are sooooo beautiful! Maluk Beach, Sekongkang, Tropical Resort Beach, Yoyo's Beach, Kertasari Beach, looking at almost milkiway at Yoyo's homestay. Of course we enjoying doing something together along the way; eating Chocolate Pejoy and Matcha Pejoy which are our favorite snacks, singing beautiful and old songs, eating Bakso Malang at Alas, drinking our favorite beverage: Milk Tea by Ichitan, buying Srikaya, and we ended up with cozy conversations until drop.


A man behind the beautiful trip from Sumbawa Besar to Lombok and Sumbawa Barat

In a life time, you will once meet the time you consider it is the right time the universe say to you,
He is the one you look for.
He is the home you have to settle in.


Sekarang jadi tahu, setelah banyak hal dilalui, yang saya ingin itu sebenernya hanya satu. Bahagia. Dan bahagia itu bermacam-macam bentuknya. Saya percaya, selama saya hidup dan yakin pada banyak hal-hal baik, saya tidak akan pernah kehabisan cara untuk berbahagia.


22 Midnight Birthday surprises from Abeth, Depik, Irma (Thanks, guys, Bidadari Gg. Panda!)

So, happy birthday, me!
Be happy always. 
You are literally surrounded by loves.



Share:

Minggu, 31 Desember 2017

Customs & Excise and Pangkalan Bun, To Adapt is To Engage

We all have words to sum up what we consider to feel and remember about places, ambiences, people, moments, and also taste of certain foods. Due to that, we also have a word for certain thing that probably can be our primary destination to grow with or just be a companion to string along the journey. In the end, we eventually deduce, collect, and save the entire of it in our deep memories. So, I think, by telling it is somehow indulging because the story itself is quite ageless.  


Since October 2016, I knew that I was the part of something bigger, admitting I was no longer a person who can do series of activities without thinking about mandatory was pretty scary. That day, I thought I was not a wild young girl who thinks dreams are supposed to be true anymore then I started to think bigger too, so I told myself that everything will always fit in its genuine way (fate?).  

Despite praising that I already have a job in my early 20s, the idea of new thing adjustment stage or adaptation oftentimes terrifies the part of me, in the otherwise I hope it does not last long. Until November 2016, official announcement revealed afterwards; been becoming the government employee in Directorate General of Customs and Excise that people usually called it as Bea Cukai, but I did not ever fancy I would literally fly to Central Borneo on December 2016 to fulfill a so-called ‘penempatan dinas’ or ‘panggilan dinas’ to work there for a range of time. That was completely breathtaking and heartbreaking at the same time. Meanwhile, as my first place to deliver performances as government employee, Pangkalan Bun also takes a huge contribution in how much I evolve in this process of self discovery. 

Dealing with something we think we do not fit for a lifetime 
Living afar from something you used to do and you once were surrounded by is also maddening sometimes. But that is all what life offers to us. I was surprised but I enjoyed it since then. I learned that we probably watch unexpected things take over our life but that is really okay. It has always been okay. In the end, those things made me realize that actually I could easily relate to the reality I currently deal with and live in it consciously.  Used to carry on urban life, wowing to every development occasions which city often offers; open public discussions, book launches, sharing sessions with people who have their silver lining and got international recognitions, myriad of melting spots like book stores, art exhibitions, cafe with its book collections (such as my favorite space in Kemang: Coffee War), brings my upset to the new level since I knew I would not meet such as those things in my current place, Pangkalan Bun. At the very beginning, I did not feel my eyes brightly glance in this place as usually I do. I was not be able to think what my years is going to be like to spend right here.  

But afterwards, I no longer worry about everything. I knew that I can still read books as many as I want, read articles and play The Sims in my spare time, find a cafe named Kobuki with its book collections, talk with friends (which also my colleagues) about everything (about books and movie too, because some of them are bookworm and movie goer!), watch movies almost three times a week (thanks you WiFi, Torrent, and Indo XXI), and keep up with other things which likely my habits and beliefs that keep me sane wherever I go. Meanwhile, I thank to God for other particular chances that I can undergo something I never experience before such glancing natural landscape of Borneo, grasping the air with no pollution, hearing another dialect in daily basis, etc. 

Dari situ, saya belajar bahwa banyak sekali kekhawatiran yang sebenarnya tidak perlu ada. Di mana bersahabat dengan sebuah perbedaan dari apa yang kita yakini itu menyenangkan juga karena saya rasa, disamping mengisi diri untuk hal-hal yang memang kita gemari, masih banyak tempat yang tersedia di hati dan pikiran kita yang bisa diisi banyak hal yang justru tidak kita bayangkan sama sekali sebelumnya. They both have the same light to everyone’s life because they makes a human human, don't they? So we can taste thousands of pretty dicstinct feelings. 

Cheers to every possibility in life!  

(Always be) Ready for engaging with change 
Once you choose your life as government employee (esp. Douane), it means you also willingly become a nomad. You can judge me from any angle of what I told here and what I shared, but for me, dealing with changes (especially unwanted ones) is a vague feeling and I always need time for that, tho the clause ‘mau gimana lagi, memang begitu adanya’ is somehow overrated. Tapi saya sepenuhnya sadar bahwa hidup memang tentang memilih dan being fully responsible afterwards. Sekalipun pada dasarnya, saya menaruh minat pada hal-hal yang settle di masa depan dan berpindah tempat hanya jika saya menginginkannya. Tapi hidup juga tentang menerima bahwa hal-hal yang sekarang terjadi kebanyakan tidak sama persis dengan apa yang kita inginkan untuk terjadi.  

There are things that matters and keep myself presumably going to accept a reality in which people literally come and go.  I see how basically I am bound with intimacy with certain place (such Bintaro) and people whom I met in my life (whom I recognize as the special ones; best friends and crush). Likewise, it took several months to understand that I also felt a great sensation while I underwent the despairing atmosphere due to leaving all the memories about people and places behind and back to your office, and then continue doing your jobdesks as usual.  

Sometimes you would be wonder your mind is still full of the taste of particular food you once licked, the ambience of cozy places you once visited, the new dialect you once tried, people who once made you laugh and warmed your day, and another beautiful things you once ever felt and they are just unforgettable even you have left them for several weeks or months or even years. Hal yang sama saya rasakan ketika usai menjalani diklat Prajabatan Golongan II di Makassar dan ketika usai menjalani diklat Kesamaptaan di Malang. Mungkin hal yang sama juga akan terjadi ketika saya menerima putusan mutasi dan dipindahtugaskan dari Pangkalan Bun ke tempat yang berbeda.  

At my certain point of contemplation, I sense the better coming in every changes. I assure myself that I know better about dealing and living with it. By all means, changes have been always become good memories since then. 

Share:

Minggu, 03 Desember 2017

#1

Aku bangun dari isi kepalaku yang sudah lama mati suri.
Yang sudah cukup melihat banyak hal seolah-olah seperti cinta.
Seolah-olah juga seperti perasaan yang hanyalah semata-mata perasaan atau lebih baiknya,
doa yang hanyalah semata-mata harapan.
Sementara waktu membekukan dan mencairkan,
aku hanya bergelut antara memangkas
mana yang bisa dibuang dan mana yang pantas disimpan.
Harusnya aku bisa menulis berbagai kisah tanpa pikir panjang.
Juga bisa mengenal ketulusan sedalam-dalamnya, sebanyak-banyaknya.
Mestinya aku bisa lebih cerdas dari asaku sendiri.
Dari segala bentuk rasa yang ternyata bisa saja tegak dan tetap ada
atau yang bisa sekejap datang dan sekejap hilang.
Aku bangun dari kenyataan
bahwa seseorang tidak boleh lemah di hadapan apapun yang seharusnya.
Seseorang hanya boleh lemah terhadap apapun yang menjadi pilihannya.
Yang bisa jadi melemahkan, kemudian kembali memapah dan menguatkan.
Share: