Sabtu, 19 Desember 2020

Merumahkan Cerita di Pangkalan Bun

  

  19/12/2016  -  19/12/2020


    Saya meyakini bahwa cepat atau lambat, suatu saat ingatan akan berkhianat. Barangkali hal tersebut menjadi alasan saya untuk menulis hampir tentang apapun, sekaligus untuk mengarsipkan peristiwa agar tidak berlalu begitu saja, kemudian lenyap ditelan waktu. Sekalipun betapa saya sadari, masih banyak sekali tulisan-tulisan yang kalimatnya yang masih rumpang dan terburu-buru, tulisan yang masih tertatih-tatih menyampaikan premisnya, atau tulisan tidak tuntas yang lebih banyak dirayakan seorang diri, beberapa saja dari itu yang pada akhirnya selesai dan pantas dirayakan bersama orang lain. Saya rasa, menulis merupakan salah satu upaya yang tepat guna untuk melanggengkan ingatan pada hal-hal baik yang terjadi dalam hidup. Di atas semua itu, saya juga percaya bahwa sebuah peristiwa bukan berarti apa-apa jika tidak kita sendiri yang memberinya makna. Pun hal itu berlaku untuk sebuah tempat. 

    Jika boleh bernostalgia, saya tidak akan pernah lupa bagaimana Bintaro menghadirkan sebuah ruang yang selalu memuai untuk saya berkembang menjadi saya saat ini. Katanya, ada beberapa tempat yang bisa membentuk manusia, saya rasa Bintaro menjadi salah satunya. Bintaro seperti sesosok ibu yang selalu mendekap hangat kepulangan anaknya. Jika kata orang, home is where your mom is, maka bagi saya, Bintaro adalah rumah kedua yang kehangatannya menyamai rumah pertama tempat ibu kandung saya tinggal. Ingatan akan Bintaro berputar kencang setiap kali saya berbicara tentang sebuah tempat. 

    Sampai pada akhirnya, saya tersadar bahwa waktu memang betul-betul terbang hingga bulan Oktober 2016 tiba tanpa saya antisipasi. Saya diwisuda tepat pada bulan itu. Kemudian November 2016 hanya sekelibat lewat saja karena hari-hari berlalu penuh dengan persiapan tes dan persiapan penempatan dinas. Bulan Desember 2016 datang bersamaan dengan kabar penempatan instansi sekaligus penempatan dinas. 

    Kata orang, seperti berbahagia, bersedih adalah hak. Tapi saat itu, saya lebih memilih sedih karena akan meninggalkan Bintaro beserta kenangan-kenangan kecil yang sampai sekarang masih saya ingat detailnya— lingkungan kampus, daerah Bintaro Sektor 1 sampai Bintaro Sektor 9, toko-toko buku di mall atau Pesanggrahan dan di Blok M, festival film dan pameran seni yang megah, sampai puluhan tempat jajanan langganan — dibandingkan bersedih karena akan berangkat menuju tempat dinas pertama yang sama sekali asing. 

    Seperti yang sudah-sudah, ingatan akan Bintaro berputar kencang setiap kali saya berbicara tentang sebuah tempat. Tidak terkecuali perjalanan yang saya mulai dari hari pertama (dan untuk pertama kalinya) menginjak tanah Borneo hingga langkah saya di sini yang sudah genap empat tahun. Ingatan saya memiliki ruang baru untuk mengingat segala hal selama di sini. Barangkali memang betul, sebuah tempat dapat memberimu banyak kejutan yang datang dari sudut-sudut yang tidak diduga. 

    Sama seperti pertemuan dengan Bintaro, saya mensyukuri pertemuan yang Tuhan beri kali ini. Pertemuan dengan sebuah kota kecil di Kalimantan Tengah. Kotawaringin Barat, Pangkalan Bun. Seperti kata Bu Inga pada Zarah Amala, tokoh utama pada novel fiksi ilmiah karangan Dewi Lestari,  Supernova 4: Partikel, “kalau di dalam damai, semua tempat bisa jadi rumah kita” saat Zarah memutuskan untuk pergi ke Pangkalan Bun, menyusuri Sungai Sekonyer, dan tiba di Taman Nasional Tanjung Puting untuk menyelesaikan misi pribadinya. Saya tidak pernah menyangka bahwa buku Supernova keempat yang saya baca di bangku SMA tahun 2012 itu, yang berkali-kali menyebut latar tempat Pangkalan Bun serta rasa penasaran saya tentang Pangkalan Bun yang hanya hinggap sekejap saja di kepala saat itu, pada akhirnya membawa saya pada fakta bahwa saya benar-benar mendatangi tempat yang Zarah sebut sebagai rumahnya. Saat pertama kali menyapa wajah kota Pangkalan Bun, saya seperti menemukan mercusuar baru untuk kembali belajar banyak hal.  

    Menyoal pekerjaan, saya mungkin tidak akan menceritakan bagaimana saya melalui rutinitas bekerja di Pangkalan Bun; menyusun dengan jeli kebutuhan anggaran kantor untuk tahun berikutnya, memastikan eksekusi penyerapan anggaran berjalan dengan baik sesuai rencana dan melaporkannya pada monev anggaran, memantau dan menatausahakan dokumen penerimaan negara, mempelajari Peraturan Menteri Keuangan dan peraturan lanjutannya, memproses dokumen permohonan, berdiskusi dengan rekan sejawat dan atasan, dan lain sebagainya. Saya juga tidak akan menjabarkan urusan rutinitas saya sehari-hari di balik layar monitor komputer dan kibor (ngomong-ngomong, saya senang sekali mengetik sesuatu) atau pekerjaan klerikal lainnya yang berhubungan dengan berkas dokumen dan alat ajaib bernama klip kertas dan stapler. 

Tulisan ini mungkin akan menjadi manifestasi perasaan dan pikiran yang ingin saya rangkum, sebelum saya benar-benar akan meninggalkan tempat ini beberapa hari lagi.

(i)

Sejak awal saya merasa, saya tidak perlu bekerja terlalu keras untuk merasa nyaman di Pangkalan Bun. Kota kecil ini sudah menawarkan banyak hal baik; hawa yang sejuk, sunyi yang damai, dan awan yang begitu indah untuk dinikmati. Tentu saja, hal ini nyaris tidak bisa ditemui di kota-kota yang dindingnya tinggi, dingin, dan angkuh. Di tambah lagi, jarak tempuh bandara ke kantor yang tidak sampai 15 menit juga melenakan saya yang kurang bisa menikmati perjalanan lama hanya untuk kemudian melanjutkan perjalanan lainnya. 

Selain semua itu, saya punya kawan-kawan (yang sekaligus rekan kerja) yang luar biasa. Bahkan di tengah kepenatan bekerja, bersama mereka, saya masih bisa memelihara tawa dan tidak lupa memaknai hari. Mirip seperti apa yang dibilang Baskara Putra dalam lagu ‘Membasuh’ yang ia tulis, “kita bergerak dan bersuara, berjalan jauh tumbuh bersama, sempatkan pulang ke beranda, tuk mencatat hidup dan maknanya”. Saya rasa, sepenggal lirik tersebut sudah terejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari selama di sini. Pada akhirnya, saya berada pada kesimpulan bahwa tidak ada alasan yang tersisa bagi saya untuk tidak merasa senang bekerja (sekaligus belajar) di Pangkalan Bun. 

(ii)

Dulu saya menganggap bahwa pertemuan adalah suatu hal yang istimewa dan mewah, namun pada akhirnya saya sadar, sebuah pertemuan bukan sesuatu yang perlu dirayakan terlalu. Ibarat berjalan, langkah-langkah saling bertemu pada sebuah persimpangan, kemudian saling sapa dan kenal, bertukar cerita atau basa-basi barang sejenak, lalu saling melangkah lagi menuju arah yang (mungkin) berbeda. Saya ingat pertama kalinya merasa begitu kehilangan dan menangis karena Surat Keputusan Pemindahan Pegawai membawa rekan saya pergi jauh ke tempat dinas yang baru. Saya jadi mulai berpikir bahwa pertemuan dan perpisahan adalah hal yang biasa; dipertemukan sebentar untuk kemudian dibubarkan. Di Pangkalan Bun, saya mulai senang bertaruh dengan harapan dan doa, untuk bisa dipertemukan kembali dengan rekan-rekan saya ini di kesempatan dan tempat tugas yang lain. 

(iii)

Saya juga meyakini bahwa mimpi merupakan sebuah kemewahan kecil yang harus dirawat oleh manusia. Mengutip Jacques Pangemanann di buku terakhir Tetralogi Pulau Buru karya Pram, Rumah Kaca, sosok intel pemerintahan kolonial Belanda, yang menjadi penyebab Minke (cendekiawan pribumi) diasingkan di pulau terpencil Maluku Utara, “Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi, dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya”. Semenjak saya selesai menamatkan buku tersebut, sampai saat ini, kutipan dari buku Pram itulah yang kerap terngiang-ngiang. 

Karenanya, acap kali tiap lewat jam lima sore atau malam hari sebelum tertidur, saya selalu bertanya kepada diri sendiri (yang sampai detik ini pun belum menemukan jawaban yang pas), tentang apa sebenarnya yang betul-betul saya inginkan? Apa saya masih ingat persis apa yang saya harapkan dulu? Apa saya sudah menghidupi hidup, ya? 

Dan sudah tentu, suasana Pangkalan Bun yang damai dan jauh sekali dari kata riuh, sangat menunjang sesi kontemplasi tersebut. Barangkali, jika saat ini saya harus menempuh perjalanan pulang kantor dan terjebak kemacetan, yang ada dalam pikiran saya mungkin hanya bagaimana cara lekas sampai rumah dan segera rebahan. 

(iv)

Perjalanan panjang selama tujuh tahun, tiga tahun di kampus Ali Wardhana dan empat tahun di Pangkalan Bun, membentuk saya menjadi pribadi yang sama sekali lain dari yang saya bayangkan tentang diri saya di lima sampai sepuluh tahun ke depan ketika saya masih duduk di bangku sekolah. Internalisasi nilai-nilai Kementerian Keuangan sejak duduk di tahun pertama kuliah hingga pada akhirnya menjadi bagian dalam sebuah sistem di instansi ini (tentunya juga dengan bertemu banyak orang hebat dan banyak belajar dari mereka) membawa saya pada kesimpulan, bahwa ternyata saya tidak kalah dalam sebuah pertaruhan yang saya buat sendiri saat akan memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di STAN, yang kemudian pada akhirnya membawa saya ke Pangkalan Bun untuk bekerja (jika frasa ‘mengabdi kepada negeri’ masih belum terasa pantas disebut) dan tempat-tempat dinas lain berikutnya. Benar adanya bahwa seseorang bebas memilih jalan mana yang ia sukai, tapi tidak pernah bebas dari konsekuensi jalan yang sudah ia pilih. Saya terang-terangan menyukai jalan ini juga konsekuensi yang dibawanya.

Beberapa hari lagi, saya akan terbang dari Pangkalan Bun dan tidak lagi terbang kembali ke sini. Kota sederhana yang damai, yang padanya saya pernah menikmati pagi hari di pelataran belakang rumah kontrakan, di jogging track Taman Kota, di jogging track Bandara Iskandar, di tempat langganan untuk sarapan. Yang padanya saya pernah menikmati siang hari yang terik atau mendung di jalan raya rapi yang (nyaris selalu) sepi, tentu saja dengan pemandangan awannya yang aduhai. Yang padanya saya pernah menikmati malam hari di kedai kopi favorit, di sanggar senam, atau di kamar saja; rebahan dan mendengar lagu-lagu yang itu-itu saja dari playlist Spotify. 

Beberapa hari lagi, saya akan terbang dari Pangkalan Bun dan tidak lagi terbang kembali ke sini. Saya akan selalu ingat persis Kantor Bea Cukai Pangkalan Bun yang sarat akan kehangatan dan kekeluargaan. Tulisan ini, selain sebagai bentuk hormat saya kepada ilmu, wawasan, pengalaman, dan orang-orang hebat yang saya temui selama perjalanan saya di sini, juga saya anggap sebagai sebuah pengingat, bahwa saya pernah begitu berbahagia menjadi bagian di dalamnya. 

---------------------



Share: