Selasa, 12 November 2019

Tentang Lanturan yang Harus Usai

To quote Andrea Gibson, "Love isn't always magic. Sometimes it feels more like ripping a hunk of raw meat with your incisors. Difficult, violent, repulsive." 
Then yeah, I second it the way I think about a life. 


Sejak duduk di bangku sekolah, saya selalu mengamini sikap meromantisasi hal-hal kecil yang belakangan ini baru saya sadari bahwa hal tersebut hanya omong kosong belaka. Perilaku yang sia-sia. Nirmakna. Setelah menyadari hal itu, saya jadi suka berandai-andai di waktu senggang--kala tidak sedang sibuk terpaksa menjadi orang dewasa--tentang bagaimana jika saya berhasil menjadi rasional sejak dalam pikiran, bagaimana jika saya menolak tunduk pada kedangkalan cara berpikir,  bagaimana jika saya terus mengasah mental seperti para intifada yang betapa tidak kenal kata menyerah, bagaimana jika saya memperlakukan buku-buku George Orwell, Karl Marx, Soren Kierkegaard, Albert Camus, Friedrich Nietzche, bahkan Karen Armstrong sebagai kitab suci sejak duduk di bangku sekolah di mana pikiran kritis dan ide gila masih dimaklumi dan terbebas dari penghakiman satu sisi, bagaimana jika saya keranjingan data; mencari-cari kebenaran sejarah G30S setelah membaca buku 'Penembak Misterius'-nya Seno Gumira Ajidarma; mencari cara untuk memperjuangkan suara mereka yang dipaksa bungkam dan dipaksa hilang, bagaimana jika saya menentukan beberapa alternatif aksi eskapisme dengan banyak menonton film dari berbagai genre kemudian mengkritiknya dengan cerdas dan menuliskannya dengan bernas, belajar banyak bahasa asing, sampai belajar cara merebut alat produksi dan menumbangkan kapitalisme.

.... and with a thousand more what ifs, semakin bising suara di ruang-ruang dalam kepala saya. Kadang, gemanya membiarkan saya menjelma menjadi apapun dan siapapun yang saya kehendaki. Seringnya, gema tersebut membuat saya ingin meringkuk seharian di bawah selimut; ogah-ogahan menjalani hidup yang sudah dibentangkan oleh Tuhan di depan mata saya. Kalau saya tidak siaga, bisa jadi ini hal yang membahayakan kehidupan karena di saat-saat seperti itu yang saya dambakan hanyalah dunia tanpa tatanan yang mengikat. Menjadi orang dewasa yang (katanya) harus bertanggung jawab pada kehidupannya sendiri, acap kali menyelamatkan saya dari hal-hal seperti ini, karenanya saya sepakat bahwa menjadi dewasa tidak seburuk yang orang-orang perbincangkan. Dengan itu, saya bisa memastikan bahwa saya masih individu yang bisa berpikir sekaligus bertanggung jawab.

Myself, walking through my own shadow

Diatas segalanya, hal yang selalu saya percayai bahwa pikiran adalah satu-satunya tempat tanpa batas dan alas untuk mencipta kehidupan dan merencanakannya, pun mempersilakan saya untuk bebas melantur tentang hampir apapun. Di sisi lainnya, pikiran juga musuh yang sulit berhenti berbicara apa adanya tentang hampir apapun. 

Trying to capture my day life as such, hampir setiap malam sebelum tidur atau setiap kali terbangun tengah malam--sebab tubuh minta dilelapkan lebih awal, riuh rendah suara itu datang lagi. Sementara saya mencoba menyusun ode di secarik kertas yang sering kali tidak tuntas atau aktivitas lain yang lebih sederhana; berselancar di dunia maya sembari memutar playlist spotify atau podcast favorit sebagai upaya pelarian, namun nyatanya perseteruan dalam kepala saya tidak jua berhenti. Suara-suara itu sahut menyahut. Detik ini ia menjelma sosok ibu yang membelai lembut rambut sosok kecil saya sambil mendongeng kisah tentang luar angkasa, di detik kemudian tiba-tiba ia berubah wujud menjadi petasan banting yang terlempar dari sudut yang tidak terduga. Bisa dari penyesalan tentang mengapa dulu tidak begini, mengapa dulu tidak begitu saja. Bisa dari daftar mimpi-mimpi yang patah dan dipatahkan. Bisa dari perasaan tidak cukup terhadap diri sendiri. Bisa juga dari fakta bahwa trauma dan kepedihan bisa berumur panjang dan enggan enyah dari ingatan.

Hal yang paling tidak saya pahami dari persoalan ini adalah kerelaan saya untuk menikmati pergulatan pikiran tersebut, saya rela berdiri dalam tataran kontemplatif, dikerubungi suara-suara bising yang bahkan tidak ingin saya dengar. Aneh ya? Mungkin saja karena saya belum menemukan cara paling efektif untuk mengelabui, jika tidak bisa dibilang menguasai, kebisingan di dalam tempurung kepala sendiri.

Saya pernah mendengar ucapan Nietzche yang diparafrase oleh Jörgen Elofsson dan kawan-kawan dalam sebuah lagu yang kemudian dinyanyikan oleh Kelly Clarkson, Stronger. Katanya, what doesn't kill you makes you stronger. Dulu saya bersikap bodoh amat dan persetan dengan apa yang Nietzche katakan. Setelah menginjak usia kepala dua, saya sepakat secara menyeluruh bahwa perkataannya memang sebuah aksioma. Setidaknya setelah saya betul-betul berhadapan dengan sesuatu yang mengganggu, menyiksa, dan menyakitkan--walau tidak membunuh--yang saya yakini mampu mengasah baja dalam diri. Tentu keyakinan itu lahir setelah proses pikir panjang, menjudi kemungkinan mana yang akan menang: dikuatkan atau dilemahkan (oleh buah pikir diri sendiri).

Arena pergulatan di dalam kepala saya tidak pernah sepi kunjungan, masih penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang menuntut dijawab cepat, dengan perandaian dan 'bagaimana jika' yang sudah hampir berkarat, juga dengan keraguan dan keyakinan akan banyak hal yang datang bergantian secara cepat mirip kilat, bahkan sampai di detik saya tiba pada paragraf ini. Di antara kebisingan yang hilir mudik itu, saya selalu menerima pengingat yang hadir dengan cara tidak terduga bahwa saya yang sekarang masih diikat oleh sebuah keinginan untuk melihat sosok Santiago, tokoh di buku Paulo Coelho, The Alchemist, ada pada diri saya kelak. Santiago yang mampu mengecoh nasib dengan keberanian. Berbekal fatum brutum amorfati, ia terus berjalan dan tidak menyerah pada keraguan dan rasa takut bahwa ia akan berhenti di tengah jalan karena sudah tidak tahan merasakan raga dan jiwanya berpeluh menempuh perjalanan panjang yang berdarah-darah.

Untuk menjadi Santiago seluruhnya atau sebagian, saya akhirnya tahu bagian mana di dalam kepala saya yang harus saya selesaikan dan bagian mana yang harus tetap bersemayam di sana. Pada bagian yang ingin saya selesaikan, saya hendak menyelesaikan semuanya tanpa sisa. Tanpa bekas. Dan pada akhirnya, bahkan tanpa niat apapun, saya tetap merasa harus mengharui diri sendiri.














Share: